Artikel Majalah Hati Beriman

Selasa, 11 Oktober 2011

Aplikasi Basa Jawa dalam Mengisi International Mother Tongue Day

Oleh: Sapto Sunarso*)

Bahasa dimaknai sebagai sistem komunikasi sosial dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan perubahannya yang berlangsung perlahan-lahan dan berangsur-angsur, baik kosakata maupun tatabahasa. Pengenalan Bahasa Jawa bukan untuk menumbuhkan ego kedaerahan, tapi upaya menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai. Apalagi Bahasa Jawa termasuk bahasa sempurna, sebab adanya muatan filsafat, UUB, dan aksara yang belum tentu dimiliki bahasa daerah lain.

Awalnya International Mother Tongue (Hari Bahasa Ibu Internasional) dirayakan di Bangladesh sebagai Hari Pergerakan Bahasa memperingati protes tahun 1953 untuk melindungi bahasa Bangla sebagai bahasa negara (EENET.asia.Newsletters). Dalam kongres di Paris (17/11/1999), UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (http://wikipedia.org/wiki). Sebab, di seluruh dunia setiap tahun terjadi 6 hingga 10 bahasa ibu lenyap (Gustini, 2008).

Program Save the Children mempromosikan pendidikan multibahasa dengan pendekatan anak-anak pertama kali mengembangkan fondasi kuat dengan bahasa ibunya kemudian belajar bahasa nasional sambil terus belajar mata pelajaran lain dengan bahasanya sendiri (h.pinnock@savethechildren.org.uk). RA Kartini dalam suratnya kepada NvZ menulis: ”Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara.” (Kolonial Weekblad, edisi 25/12/1902). Maknanya, bahasa ibu memiliki posisi penting dan strategis, yaitu sebagai bahasa komunikasi antara ibu dan anak yang kelak sangat menentukan bahasa anak (ibid, 2008). Bahasa ibu memuat segudang harapan dan pesan kepada anak melalui bahasa lisan, bahasa tubuh, dan sikap keseharian. Jika seorang ibu membiasakan berkata dengan sopan dan halus, maka anak-anaknya cenderung bertutur kata sopan dan lemah lembut. Demikian juga sebaliknya.

Secara universal, sopan-santun berbahasa ada di setiap komunitas bahasa. Pemakaian kata kimasu dan irasshaimasu (Bahasa Jepang) menunjukkan bahasa umum dan halus. Kata mister dan sir (Bahasa Inggris) ada perbedaan 'rasa', begitu pula penggunaan kata please. Dialek-dialek selain Hocdeutsch (Bahasa Jerman standard) dan Retorumantsch (bahasa halus Swiss) dipakai secara aktif sehingga bahasa dialek yang ada tetap lestari dan hidup di samping Hocdeutsch dan Retorumantsch (Gossweiler, 2001). Dalam Bahasa Indonesia/BI ada kata mampus, mati, dan wafat yang menunjukkan adanya sopan-santun berbahasa.

Sopan-santun dalam Bahasa Jawa (BJ) disebut unggah-ungguh basa (UUB). Istilah lain UUB adalah undha usuk basa, tingkat bahasa, tataran bahasa, atau ragam bahasa. Di bidang sopan-santun berbahasa, BJ nomor satu di dunia. Dalam BJ ada 14 UUB dan ada ratusan kosakata klaster ngoko (netral), krama (hormat umum), dan krama inggil (hormat khusus).

Jika diperhatikan, dewasa ini keluarga-keluarga muda mengajar berbahasa anak-anaknya memakai BI. Sikap sebagian orang tua melarang anak-anaknya ber-BJ ketika berkomunikasi dengan lingkungannya, karena ketika anaknya ber-BJ sangat kasar, sebab kurangnya suri tauladan dari orang tua (www.suaramerdeka.com). Anehnya, ada guru BJ yang tidak trep ber-BJ. Keadaan ini senada dengan bahasa daerah lain, seperti Bahasa Bali, Sunda, Madura, Bugis, Karo, Mandailing, Lampung, Toba, Kerinci, Tolitoli, (www.um-pwr.ac.id/forum), Bahasa Biak (Frans Rumbrawer, 2001), dsb.

Terkait hal itu, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan No. 40/2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Daerah. Pemprov Jateng menerbitkan SK Gubernur No. 895.5/01/2005 tentang Kurikulum Mata Pelajaran BJ SD/SDLB/MI hingga SMA/SMALB/SMK/ MA Negeri/Swasta dan Keputusan Gubernur No. 434/83/2006 tentang penggunaan BJ di lingkungan Pemprov Jateng setiap Kamis. Tahun 2010, terbit SK Gubernur Jateng No. 423.5/5/2010 tentang Standar Isi BJ.

Pengenalan BJ bukan untuk menumbuhkan ego kedaerahan, tapi upaya menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai. Apalagi BJ termasuk bahasa sempurna, sebab adanya muatan filsafat, UUB, dan aksara yang belum tentu dimiliki bahasa daerah lain (http://m.suaramerdeka.com). Bahasa dimaknai sebagai sistem komunikasi sosial dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan perubahannya yang berlangsung perlahan-lahan dan berangsur-angsur, baik kosakata maupun tatabahasa (Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus).

BJ sebagai bahasa ibu diharapkan dapat berkembang melalui pendidikan formal atau sekolah. Mengenai cara melatih kefasihan berbahasa, RA Kartini dalam nota kepada Idenburg menulis ”Alat terbaik untuk belajar bahasa adalah sebanyak-banyaknya berpikir dan berbicara dalam bahasa itu. Tetapi hendaknya janganlah hal itu menyebabkan bahasa sendiri diabaikan; bahasa itu sendiri harus dipelajari sebaik-baiknya.” (ibid, 2008). Bagaimana caranya?

Yahya A. Muhaimin (2001) menyatakan bahwa bahasa internasional dan bahasa nasional memaksa perkembangan kosakata bahasa daerah. Bahasa daerah yang tidak berkembang kosakatanya, akan ditinggal oleh masyarakat penuturnya. Umpama BJ statis, kemungkinan akan terlindas oleh Bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, Jepang, Jerman, Perancis, Arab, Spanyol, Portugal, Italia, Korea, atau bahasa asing lainnya, di mana bahasa-bahasa asing tersebut telah menjadi bagian pendidikan di Indonesia.

Contoh sederhana, hadirnya huruf Latin atau alfabetis (a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r, s, t, u, v, w, x, y, dan z) dalam BJ, memberi corak baru dalam ejaan BJ. Untuk memenuhi kebutuhan, ditambahkan huruf dh, th, ng, ny, dan varian vokal ê dan è. Ejaan serapan huruf Arab dan Sanskreta dimasukkan dengan huruf gh, kh, sh, sy, dan bh. Jadi dalam ejaan BJ ada 37 dengan varian vokal e (ada 3: ê, é, è seperti kata seneng, besek, ember) dan varian vokal miring (ada 4, misal perbedaan bunyi antara sukukata berakhir vokal loro, kuru, sapi, pasa dan suku kata berakhir konsonan lorod, kurung, sapih, pasar).

Adanya huruf baru dalam ejaan BJ di luar Hanacaraka (seperti huruf f, q, v, x, z, gh, kh, sh, sy, dan bh) memperkaya ejaan BJ. Huruf Hanacaraka pun berkembang dengan aksara rekan (aksara yang direka-reka/dibuat untuk memenuhi ejaan huruf f, v, q, x, kh, sh, sy, z; untuk huruf bh tidak ada). Dalam proses itu ada yang luluh (masuk dalam ejaan BJ) dan ada yang tetap (mengikuti ejaan bahasa aslinya). Adanya persamaan alat bunyi pada huruf f, v, dan p memunculkan variasi. Pengucapan kata film dalam ejaan BJ memunculkan dua varian (filem dan pilem), atau kata tivi dan tipi, sertifikat dan sertipikat.

Menafsirkan huruf q pada contoh kata aqua menjadi akua, misalnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa kosakata yang mengandung huruf q yang ada di BJ jumlahnya sedikit dan jarang dipakai dalam keseharian. Dari dua alasan itu bisa ditafsirkan jika huruf q kemungkinan sulit diserap oleh bahasa Jawa, terutama oleh lidah komunitas penuturnya.

Ada perbedaan perlakuan ejaan huruf q dan f dalam sistem ejaan BJ. Selain banyak kosakata BI yang mengandung huruf f dan banyak nama yang mengandung huruf f (seperti Effendi, Syaefudin, Saiful, Fanni, Febi, Febrianti, Fahmi, Fitri, Hannif, Khofiffah, Fajar, dsb), kosakata yang mengandung huruf f sering disimak dan diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya alasan BI dalam pembahasan ini karena BI menjadi bahasa pengantar di sekolah. Sehingga, bisa ditafsirkan fenomena pengucapan f sangat mungkin dapat diserap dalam sistem ejaan BJ.

BJ termasuk bahasa yang dinamis. Setiap ada kosakata asing yang dirasa lebih praktis, perlahan-lahan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kosakata serapan itu disesuaikan dengan lidah komunitas BJ, seperti kata gobak sodhor (go back to the door), magrib/mahrib (maghrib), aplot (upload), kensel (cancel), dsb. Kata-kata serapan tersebut dimasukkan dalam klaster netral menurut klaster kosakata atau undha-usuking tembung (UUT).

Oleh karena itu, aplikasi pengajaran BJ perlu dirancang sejalan dengan perkembangan BJ di masyarakat. Di samping itu, juga perlu mempertimbangkan adanya kendala seperti siswa dari luar Jawa, jam terbatas, konsentrasi siswa ke UN, animo komunitas penutur BJ seperti keluarga yang disinggung di muka, minimnya pustaka, kurangnya suri tauladan, dsb. Sementara materi BJ banyak. Mulai aksara, kosakata, tatabahasa, kagunan basa, UUB, kasusastraan, hingga kesenian dan tatakrama. Tuntutannya keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi (disisipkan di 4 ketrampilan). Meluruskan pengucapan dhadhi menjadi dadi, tukul menjadi thukul atau penulisan loro dan lara, sing dan seng saja butuh waktu. Lalu, bagaimana mengajar bahasa ibu (BJ) yang efektif? Bagaimana desain pengajaran BJ secara pragmatis?

”Roh” Bahasa Jawa

Ada tiga pilar utama dalam BJ. Pertama, perasaan saling hormat menghormati, ewuh pakewuh, atau etika yang diimplementasikan melalui UUB. UUB ialah tata aturan bahasa menurut kedudukan kesopanan (Poerwadarminta, 1939). Kadang disebut basa. Basa itu berbicara dilandasi tatakrama atau rasa hormat menghormati antara penutur dengan lawan bicara.

Kedua, ragam UUB. Menurut Sutjipto Adi (1987), ragam UUB ada Ngoko, Madya, Krama, Basa Kedhaton (Bagongan), dan Basa Kasar. UUB Ngoko ada dua, yaitu Ngoko Lugu (NL) dan Ngoko Andhap/Alus (NA). UUB NA dibagi menjadi Antya Basa (AB) dan Basa Antya (BA). UUB Madya ada Madya Ngoko (MNg), Madyantara (Mdy), dan Madyakrama (MKr). UUB Krama dibagi menjadi Kramantara/Krama Lugu (KL), Mudha Krama (MKr), Wredha Krama (WKr), Krama Alus/Inggil (KA/KI), dan Krama Desa (KD). Dalam perkembangannya, UUB masih eksis digunakan oleh komunitas BJ. Sebagai pengenalan yang tepat untuk siswa adalah Ngoko (NL dan NA) dan Krama (KL dan KI).

Ketiga, irregular words BJ berupa UUT (undha-usuking tembung). UUT ialah kata satu arti tapi memiliki tataran tatakrama yang berbeda. Menurut Hidayat (Ensiklopedi Bahasa Dunia, 2006), UUT merupakan kata-kata honorifik untuk merendahkan diri dan meninggikan lawan bicara. UUT BJ terbagi dalam UUT Ng (Ngoko), UUT Kr (Krama), dan UUT KA (Krama Alus). Untuk membedakan “krama alus” sebagai UUB dan UUT, digunakan singkatan KI untuk UUB dan KA untuk UUT.

Secara UUB, kalimat ”Sudah tidur?” berbeda konteksnya. Dalam NL kalimatnya “Wis turu?” (UUB NL itu bahasa yang memakai UUT Ng, netral, akrab, dan tidak membedakan status atau umur). Dalam UUB NA menjadi “Wis sare?” (UUB NA ialah bahasa netral yang memakai UUT Ng diselingi UUT KA untuk orang yang dihormati). Dalam UUB KL kalimatnya “Sampun tilem?” (UUB KL itu bahasa yang memakai UUT Kr, sifatnya menghormat secara umum). Sedang dalam UUB KI menjadi “Sampun sare?” (UUB KI ialah bahasa yang memakai UUT Kr dan atau UUT KA untuk orang yang dihormati, sifatnya menghormat secara khusus).

Ajar Basa

Agar siswa 'bisa basa', perlu belajar basa secara intensif dan berkelanjutan. Pertama, menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Konteks berbicara siswa diarahkan berdasarkan pocap lan patrap 'pengucapan dan kesopanan', sebuah norma pergaulan agar terjalin keakraban dan hormat-menghormati. Jika sudah mempunyai rasa pangrasa hormat, konteks hormat akan muncul sendiri. Orang akan memilih siswa yang sopan walau belum bisa basa daripada yang bisa basa tapi tidak sopan. Yang terbaik siswa bisa basa dan sopan (pocap lan patrap).

Kedua, hafal UUT. Karena UUT BJ banyak dan merupakan salah satu dasar untuk bisa basa, alangkah baiknya jika hafalan UUT dimulai sejak dini. Bila siswa hapal kata kesah (UUT Kr), idealnya juga hapal tindak (UUT KA). Minimal siswa diajak menghafal kosakata sehari-hari. Guru dapat memberikan beberapa metode dalam penguatan hafalan siswa, seperti tebak kata, permainan deret kata, TTS, kata bergulir, silang kata, kata berantai, dsb. Jika siswa tidak hafal UUT, siswa akan sulit bisa basa.

Ketiga, berlatih menerapkan satu kosakata UUT dalam satu konteks UUB. Contoh kalimat ”Aku makan, Ibu belum makan” dalam UUB NL: ”Aku mangan, Ibu durung mangan”. Dalam UUB NA: ”Aku mangan, Ibu durung dhahar”. Kalimat dalam UUB KL menjadi ”Kula nedha, Ibu dereng nedha”. Sedangkan dalam UUB KA menjadi ”Kula nedha, Ibu dereng dhahar.”. Penutur 'aku' tidak memakai 'dhahar' (UUT KA), karena tidak boleh meng-kramaalus-kan diri sendiri. Kalimat contoh yang tepat dipakai ialah kalimat UUB NA dan UUB KA, sebab ada unsur yang dihormati secara khusus (ibu).

Keempat, menyesuaikan dengan lawan bicara. Kontekstual BJ perlu memperhatikan lawan bicara. Jika dengan orang yang baru kenal, cenderung memakai UUB KA. Hal ini muncul karena rasa sungkan. Apabila sudah kenal, akan berubah menyesuaikan status atau umur antara penutur dan lawan bicara.

Jika berbicara dilandasi rasa hormat, hafal UUT, dan paham UUB, maka tidak sulit untuk bisa basa. Tetapi masyarakat, terutama kaum ibu, bertindak selaku lawan bicara siswa di rumah, perlu ikut membiasakan siswa berbahasa Jawa sesuai UUB. Mungkin anak basa di rumah, di luar belum tentu, karena tergantung lawan bicara dan lingkungan. ”... the world a man inhabits is a linguistic construct” (Sampson, 1980). Komunitas lingkungan, seperti guru BJ dan selain guru BJ, TU, mister bon (tukang kebun), mas/mbak pedagang, bapak sopir, dsb juga memiliki peran yang sama.

Keluarga semestinya mempelopori sebagai pembelajaran pertama bahasa ibu, lewat percakapan sehari-hari di rumah. Guru BJ hanya membantu tugas dan peran keluarga untuk memberi pengalaman berbahasa ibu pada anak. Sebab, ”Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik.” (Sulastin, 1979) dan ”Pendidikan yang maju atau modern bukan berarti meninggalkan bahasa ibu” (Kompas, 26/2/2009).

Karena itu, pembelajaran BJ perlu menerapkan kembali Taxonomy Cognitif-nya Bloomsky secara runtut dari C1 (menghafal) sampai C6 (evaluasi), dari kecil hingga dewasa. Idealnya dibentuk MGMP BJ Lintas Jenjang, dari PAUD hingga SMA, dengan dipandegani oleh Perguruan Tinggi yang mumpuni dalam BJ. Semoga Bahasa Jawa siap mengisi International Mother Tongue Day dengan lebih baik. Semoga Salatiga siap mendukung Save the Children Programme.

*)Penulis adalah Pengampu

Bahasa Jawa SMA 1 Salatiga

Komunitas Motor Trail Salatiga

Terlibat dengan banyak orang itu adalah sesuatu hal yang sering terjadi dalam sebuah komunitas, saling mengenal satu dengan yang lain antar personil atau antar komunitas dalam sebuah forum sangatlah penting. Namun ketika dihadapkan pada sebuah kenyataan apakah bisa ketika bertemu hanya bertatap muka dan bersalaman dan yakin ketika bertemu kembali akan mengingat lagi. Identitas menjadi sebuah arti penting dalam sebuah komunitas.

Secara terminologi arti komunitas adalah suatu kelompok yang hidup dan saling berinteraksi di dalam suatu area/wilayah tertentu, jika di pecah lagi komunitas ini akan menjadi beberapa jenis dan klasifikasi, seperti komunitas bisnis, komunitas pekerja, ataupun komunitas pecinta motor atau sepeda.

Suaranya keras, tenaganya kuat mampu melewati medan yang tidak biasa, bentuk fisiknya menunjukkan kekuatannya, itulah motor trail, motor yang biasa dipakai untuk melewati medan yang tidak biasa.

Diawali hobi dan kecintaan yang sama terhadap motor trail, lahirlah sebuah komunitas motor trail yang diberi nama Cokrowono Trail Salatiga atau disingkat dengan Cokrowono pada Agustus 2010. “ dari kumpul-kumpul bareng hobi trabas terus sebelumnya memang sudah ada grup dulu namanya kots, Cuma kebetulan kita memang punya satu misi sendiri untuk grup ini” tutur yogi sekretaris Cokrowono. Cokrowono sendiri diartikan sebagai senjata didalam hutan, dari kata Cokro atau cakra yang merupakan senjata dan kata wono yang artinya hutan. Motor trail yang digunakan sebagai senjata didalam hutan.

Keseriusan para anggotanya dalam mengurusi komunitas ini pun membawa komunitas ini menjadi satu-satunya klub motor yang saat ini terdaftar secara resmi pada organisasi Ikatan Motor Indonesia sebagai induk organisasi otomotif dan Koni induk pembinaan administrasi dan prestasinya. Hal ini tersebut dalam pembukaan anggaran dasar Cokrowono, secara keanggotaan komunitas ini hanya mensyaratkan kejujuran dan kesetiakawanan diluar syarat administratif sebagai sebuah komunitas yang terorganisasi dengan baik.

Dalam berkegiatan komunitas ini tidak hanya berkutat seputar jelajah alam dan motor, kegiatan sosial berupa pemberian bantuan bencana Merapi pada november 2010 dilaksanakan sebanyak 2 kali, bahkan juga terlibat membantu syuting sebuah acara tv nasional.

Ditanya soal kegiatan kedepan Yogi Ardiako mengatakan bahwa kampanye tertib lalu lintas itu pasti, karena kita binaan dari polres, selain itu cokrowono juga ingin menunjukkan bahwa club itu tidak selalu hura-hura tapi juga ada kegiatan positif seperti bakti sosial.

Sebagai bagian dari komunitas besar bernama Salatiga Cokrowono sendiri berencana untuk turut berpartisipasi aktif dalam meramaikan wisata di wilayah Kota Salatiga dengan mengadakan acara “Jelajah ndeso jelajah wisata Salatiga” yang rencananya diadakan pada tanggal 20 Februari 2010 acara ini didukung oleh Ikatan Motor Indonesia dan Dishubkombudpar.(HB_jar)

POLITIK BUNGLON

Menyambut pemilukada /Walikota Salatiga 2011.

POLITIK BUNGLON

(“Bungklonisasi” politik)

Oleh: Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si*)

Untuk menjadi jujur kita harus berbuat lebih daripada bicara tentang kebenaran,

Kita juga harus mendengarkan kebenaran,

Kita juga harus menerima kebenaran.

Kita juga harus bertindak Atas dasar kebenaran!

Jika juga harus mencari kebenaran,

Kebenaran yang sukar dalam diri kita dan sekitar kita,

Kita juga harus mengarahkan diri kepada kebenaran.

Kalau tidak, kita menjadi tidak jujur dan hidup kita salah jalan.

Tuhan, berilah kami kekuatan dan keberanian untuk jujur.

Amin!

Menurut Budiardjo, Meriam, 1998. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. MC Closky, menyebut partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasan, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Kemudian Nie dan Verba, mengemukakan partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka .

Huntington dan Nelson (1994) mendefinsikan partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara pribadi (private zitezen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Roth dan Wilson (1980), membagi jenis partisipiasi berdasarkan frekuensi dan intensitasnya. Menurutnya orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya yang tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, jumlah orangnya banyak. Sebaliknya, sedikit sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik.

Bagaimana dengan para aktivis dan partisipan di Salatiga? Apakah mereka merupakan aktivis dan partisipan yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat? Aktivis dan partisipan politik merupakan sosok politikus yang membutuhkan pengetahuan dan pengalaman berbangsa dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak politik dibicarakan, ketrampilan berpolitik dari para politisi sangat diperlukan. Sebagai contoh Winston Churchill diingat baik dari pidatonya tentang artikulasi “raungan singa” (the lions's roar) pada saat Perang Dunia II maupun karena rangkaian ucapannya yang jenaka, sebagian besar sangat lucu, seperti deskripsinya tentang Clement Attlee sebagai “domba berbulu domba” (a sheep in sheep's clothing). Lincoln adalah politisi sukses yang tampil dengan kebijaksanaannya, meskipun sukar mengimajinasikan ketrampilan politiknya tanpa pesona kapasitasnya dalam kefasihan berpidato (Minogue, Kenneth 2006 : 95).

Menjelang Pemilukada (walikota) 2011 kemunculan aktivis dan partisipan politik tidak dapat dihindari. Puluhan orang mengaku dan mendeklarasikan dirinya sebagai aktivis dan partisipan di depan mata rakyat. Para aktivis dan partisipan ini muncul dalam wadah Partai Politik. Partai politik merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi politiknya dari para aktivis dan partisipan. Oleh sebab itu sebuah Partai harus memiliki visi dan misi. Di Inggris misalnya, Partai Buruh bangkit di bawah sayap liberalisme dan bahkan menggantikan Partai Liberal sebagai partai yang menyatakan dirinya reformis. Partai Demokrat di Amerika Serikat telah mengadaptasi banyak kebijakan “sosialis” dari Eropa, dan “liberal” sebagai istilah politik Amerika. Partai-partai tersebut di dalam perjuangannya untuk memimpin negara mempunyai arah dan tujuan yang jelas, sehingga dapat menggalang masa untuk aktif dan terlibat didalammnya.

Bagaimana dengan Partai di Salatiga? Sampai saat ini partai-partai yang berdiri di Indonesia belum menampakkan perbedaan visi dan misi yang mendasar sehingga rakyat yang merupakan massa potensial tidak mampu membedakan satu partai dengan partai yang lain. Memang masing-masing partai sudah mempunyai identitas seperti identitas agama, kebangsaan, kaum miskin/buruh, persatuan, dll. Tetapi apakah partai-partai itu benar-benar dapat mempengaruhi dinamika berbangsa dan bernegara yang benar-benar membela rakyat yang sudah memilihnya. Seperti yang terjadi di Amerika, Inggris, dan beberapa negara tetangga. Tidakkah setelah menang Partai dan semua partisipan Partai seperti hilang ditelan bumi kemenangan dan akan muncul lagi pada saat menjelang pemilu dan pemilukada berikutnya?.

Saat ini di kota tercinta kita ini, tidak dapat dihindari dari pandangan mata, setiap kita keluar rumah disepanjang perjalanan, taman, dan trotoar terpasang baliho, bendera, spanduk wajah-wajah calon Walikota. Begitu banyak jumlahnya. Berjejer tidak teratur dan kota negeri kita tercinta ini terkesan kumuh. Bahkan terkadang mengundang bahaya. Bagaimana tidak? Karena beberapa spanduk sobek dan menutupi jalan, tiang bendera dari bambu yang patah bisa melukai orang yang melewati. Wah mau jadi apa lingkungan Salatiga ini. Kalau ditimbang sudah berapa ton sampah anorganik memenuhi kota ini?

Dibalik media pengenalan yang ternyata menambah beban sampah di lingkungan kota ini, kita dikagetkan dengan wajah-wajah yang sama tetapi dengan partai berbeda. Wajah-wajah calon walikota menebar senyum di partai yang berbeda bahkan partaipun mengusung calon walikota yang pada awalnya bukan dari kadernya. Bahkan ada pasangan calon yang sudah berganti pasangan sebelum masuk ke pelaminan. Ada apa ini? Orang berganti-ganti partai. Partai berganti-ganti orang. Lebih parah lagi, para pemilihpun tertular menjadi pemilih yang plin-plan. Politik apa ini? “POLITIK BUNGLON”.

Bunglon adalah binatang melata yang dapat menyesuaikan kulit tubuhnya sesuai dengan tempat yang diinjak untuk membuat dirinya tidak terlihat oleh musuh. Kulit bunglon langsung berubah warna menjadi coklat pada saat kakinya menginjak batang kayu yang berwarna coklat, tidak lama dia melompat dan mencengkeram daun tebal berwarna hijau maka seketika itu pula kulitnya berwarna hijau. Bunglon sulit dikenali musuhnya karena warna kulitnya hampir mirip dengan benda yang diinjak. Sehingga bunglon merasa aman di tempat itu.

Bagaimana dengan dinamika politik kita di Salatiga? Padahal hampir setiap tahun bangsa ini punya gawe (mulai dari pemilihan langsung walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati, gubernur/.wakil gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden/wakil presiden). Jumlah dan frekuensi pemilihan pemimpin dan wakil rakyat membuat kesibukan bangsa ini tidak pernah berhenti. Kesibukan mulai dari pembentukan partai, pencalonan kader, pencalonan bupati/ walikota/gubernur, wakil rakyat, dll. Kesibukan bukan hanya pada aras panitia yang ditunjuk tetapi juga pada orang-orang yang ditunjuk atau ingin menjadi calon dalam pemilih langsung nanti.

Dengan frekuensi pemilu yang begitu tinggi membuat praktek politik bunglon menjamur. Para pemirsa televisi dikejutkan oleh tokoh politik yang sudah sangat terkenal dalam satu partai tertentu pada pemilu sebelumnya namun pada saat ini muncul dalam partai yang lain. Kasus Salatiga saat ini, para calon pemilih dibingungkan dengan para calon walikota yang bernaung dalam partai tertentu pada pemilu-pemilu sebelumnya sekarang memperkenalkan diri dengan partai yang lain. Sungguh tidak dimengerti oleh para pemilih apa yang menjadi visi dan misi dari para aktivis dan politikus.

Mereka (calon walikota) pasti mempunyai tujuan untuk menang di dalam pemilukada nanti. Janji-janji kampanye yang terdengar impresif di dalam retorika pemilukada dapat berbalik menjadi undangan untuk bencana atau kemalangan ketika sudah menjadi walikota baru mengungkapkan implikasi kebijakan mereka. Politik demokratis adalah suatu permainan (game) di mana tim-tim bersaing untuk menang. Resiko harus diambil, ada yang menang ada yang kalah, kandidat-kandidat yang didukung kalah bertanding dari lawan-lawannya yang tidak dianggap serius sebelumnya, dan semua ini merupakan suatu pertunjukan besar yang menginspirasikan dan memeriahkan para pendukung. Demikian Minogue mengungkapkan dalam bukunya sekilas tentang Politik. Dalam permainan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Yang perlu ditindaklanjuti dengan cara bagaimana kemenangan diperoleh? Dan bagaimana sikap yang kalah terhadap yang menang?

Tidak dapat dipungkiri, jika Bapak Presiden kita mulai kuatir akan keberhasilan Pemilu di negeri ini. Oleh sebab itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat melakukan pilkada di Bogor menghimbau agar semua warga negara mau menggunakan hak pilihnya pada pemilu-pemilu yang berlangsung, karena fakta sudah menunjukkan tingginya golput yang hampir 30 % (liputan siang, SCTV, 30 Nop 2008). Himbauan boleh-boleh saja, namun yang menjadi pertanyaan mengapa golput cenderung meningkat? Pertanyaan inilah yang harusnya dicari jawabannya. Kalau warga sudah bingung dengan para calon wakil rakyat dan pemimpinnya yang sudah seperti bunglon, apakah rakyat menjadi sejahtera untuk memilih mereka?

Dengan demikian agar golput tidak meningkat maka para bunglon perlu di basmi. Rakyat tidak butuh janji-janji kosong, yang dibutuhkan adalah tindakan nyata tanpa kemunafikan tetapi kejujuran dan ketulusikhlasan. Bukan hanya kata-kata di baliho, spanduk dan saat kampanye. Rakyat yang bersifat bunglonpun harus dibasmi, karena negara ini butuh rakyat yang bertanggung jawab. Bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur dan bertanggungjawab, serta memegang kebenaran. Tulisan ini akan penulis tutup dengan Syahadat Pejuang Kebenaran.

*)Penulis adalah pengajar

Fiskom Universitas Kristen Satyawacana

UKSW Salatiga.

 
template : HB  |    by : boedy's