Artikel Majalah Hati Beriman

Selasa, 11 Oktober 2011

Aplikasi Basa Jawa dalam Mengisi International Mother Tongue Day

Oleh: Sapto Sunarso*)

Bahasa dimaknai sebagai sistem komunikasi sosial dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan perubahannya yang berlangsung perlahan-lahan dan berangsur-angsur, baik kosakata maupun tatabahasa. Pengenalan Bahasa Jawa bukan untuk menumbuhkan ego kedaerahan, tapi upaya menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai. Apalagi Bahasa Jawa termasuk bahasa sempurna, sebab adanya muatan filsafat, UUB, dan aksara yang belum tentu dimiliki bahasa daerah lain.

Awalnya International Mother Tongue (Hari Bahasa Ibu Internasional) dirayakan di Bangladesh sebagai Hari Pergerakan Bahasa memperingati protes tahun 1953 untuk melindungi bahasa Bangla sebagai bahasa negara (EENET.asia.Newsletters). Dalam kongres di Paris (17/11/1999), UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (http://wikipedia.org/wiki). Sebab, di seluruh dunia setiap tahun terjadi 6 hingga 10 bahasa ibu lenyap (Gustini, 2008).

Program Save the Children mempromosikan pendidikan multibahasa dengan pendekatan anak-anak pertama kali mengembangkan fondasi kuat dengan bahasa ibunya kemudian belajar bahasa nasional sambil terus belajar mata pelajaran lain dengan bahasanya sendiri (h.pinnock@savethechildren.org.uk). RA Kartini dalam suratnya kepada NvZ menulis: ”Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara.” (Kolonial Weekblad, edisi 25/12/1902). Maknanya, bahasa ibu memiliki posisi penting dan strategis, yaitu sebagai bahasa komunikasi antara ibu dan anak yang kelak sangat menentukan bahasa anak (ibid, 2008). Bahasa ibu memuat segudang harapan dan pesan kepada anak melalui bahasa lisan, bahasa tubuh, dan sikap keseharian. Jika seorang ibu membiasakan berkata dengan sopan dan halus, maka anak-anaknya cenderung bertutur kata sopan dan lemah lembut. Demikian juga sebaliknya.

Secara universal, sopan-santun berbahasa ada di setiap komunitas bahasa. Pemakaian kata kimasu dan irasshaimasu (Bahasa Jepang) menunjukkan bahasa umum dan halus. Kata mister dan sir (Bahasa Inggris) ada perbedaan 'rasa', begitu pula penggunaan kata please. Dialek-dialek selain Hocdeutsch (Bahasa Jerman standard) dan Retorumantsch (bahasa halus Swiss) dipakai secara aktif sehingga bahasa dialek yang ada tetap lestari dan hidup di samping Hocdeutsch dan Retorumantsch (Gossweiler, 2001). Dalam Bahasa Indonesia/BI ada kata mampus, mati, dan wafat yang menunjukkan adanya sopan-santun berbahasa.

Sopan-santun dalam Bahasa Jawa (BJ) disebut unggah-ungguh basa (UUB). Istilah lain UUB adalah undha usuk basa, tingkat bahasa, tataran bahasa, atau ragam bahasa. Di bidang sopan-santun berbahasa, BJ nomor satu di dunia. Dalam BJ ada 14 UUB dan ada ratusan kosakata klaster ngoko (netral), krama (hormat umum), dan krama inggil (hormat khusus).

Jika diperhatikan, dewasa ini keluarga-keluarga muda mengajar berbahasa anak-anaknya memakai BI. Sikap sebagian orang tua melarang anak-anaknya ber-BJ ketika berkomunikasi dengan lingkungannya, karena ketika anaknya ber-BJ sangat kasar, sebab kurangnya suri tauladan dari orang tua (www.suaramerdeka.com). Anehnya, ada guru BJ yang tidak trep ber-BJ. Keadaan ini senada dengan bahasa daerah lain, seperti Bahasa Bali, Sunda, Madura, Bugis, Karo, Mandailing, Lampung, Toba, Kerinci, Tolitoli, (www.um-pwr.ac.id/forum), Bahasa Biak (Frans Rumbrawer, 2001), dsb.

Terkait hal itu, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan No. 40/2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Daerah. Pemprov Jateng menerbitkan SK Gubernur No. 895.5/01/2005 tentang Kurikulum Mata Pelajaran BJ SD/SDLB/MI hingga SMA/SMALB/SMK/ MA Negeri/Swasta dan Keputusan Gubernur No. 434/83/2006 tentang penggunaan BJ di lingkungan Pemprov Jateng setiap Kamis. Tahun 2010, terbit SK Gubernur Jateng No. 423.5/5/2010 tentang Standar Isi BJ.

Pengenalan BJ bukan untuk menumbuhkan ego kedaerahan, tapi upaya menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai. Apalagi BJ termasuk bahasa sempurna, sebab adanya muatan filsafat, UUB, dan aksara yang belum tentu dimiliki bahasa daerah lain (http://m.suaramerdeka.com). Bahasa dimaknai sebagai sistem komunikasi sosial dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan perubahannya yang berlangsung perlahan-lahan dan berangsur-angsur, baik kosakata maupun tatabahasa (Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus).

BJ sebagai bahasa ibu diharapkan dapat berkembang melalui pendidikan formal atau sekolah. Mengenai cara melatih kefasihan berbahasa, RA Kartini dalam nota kepada Idenburg menulis ”Alat terbaik untuk belajar bahasa adalah sebanyak-banyaknya berpikir dan berbicara dalam bahasa itu. Tetapi hendaknya janganlah hal itu menyebabkan bahasa sendiri diabaikan; bahasa itu sendiri harus dipelajari sebaik-baiknya.” (ibid, 2008). Bagaimana caranya?

Yahya A. Muhaimin (2001) menyatakan bahwa bahasa internasional dan bahasa nasional memaksa perkembangan kosakata bahasa daerah. Bahasa daerah yang tidak berkembang kosakatanya, akan ditinggal oleh masyarakat penuturnya. Umpama BJ statis, kemungkinan akan terlindas oleh Bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, Jepang, Jerman, Perancis, Arab, Spanyol, Portugal, Italia, Korea, atau bahasa asing lainnya, di mana bahasa-bahasa asing tersebut telah menjadi bagian pendidikan di Indonesia.

Contoh sederhana, hadirnya huruf Latin atau alfabetis (a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r, s, t, u, v, w, x, y, dan z) dalam BJ, memberi corak baru dalam ejaan BJ. Untuk memenuhi kebutuhan, ditambahkan huruf dh, th, ng, ny, dan varian vokal ê dan è. Ejaan serapan huruf Arab dan Sanskreta dimasukkan dengan huruf gh, kh, sh, sy, dan bh. Jadi dalam ejaan BJ ada 37 dengan varian vokal e (ada 3: ê, é, è seperti kata seneng, besek, ember) dan varian vokal miring (ada 4, misal perbedaan bunyi antara sukukata berakhir vokal loro, kuru, sapi, pasa dan suku kata berakhir konsonan lorod, kurung, sapih, pasar).

Adanya huruf baru dalam ejaan BJ di luar Hanacaraka (seperti huruf f, q, v, x, z, gh, kh, sh, sy, dan bh) memperkaya ejaan BJ. Huruf Hanacaraka pun berkembang dengan aksara rekan (aksara yang direka-reka/dibuat untuk memenuhi ejaan huruf f, v, q, x, kh, sh, sy, z; untuk huruf bh tidak ada). Dalam proses itu ada yang luluh (masuk dalam ejaan BJ) dan ada yang tetap (mengikuti ejaan bahasa aslinya). Adanya persamaan alat bunyi pada huruf f, v, dan p memunculkan variasi. Pengucapan kata film dalam ejaan BJ memunculkan dua varian (filem dan pilem), atau kata tivi dan tipi, sertifikat dan sertipikat.

Menafsirkan huruf q pada contoh kata aqua menjadi akua, misalnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa kosakata yang mengandung huruf q yang ada di BJ jumlahnya sedikit dan jarang dipakai dalam keseharian. Dari dua alasan itu bisa ditafsirkan jika huruf q kemungkinan sulit diserap oleh bahasa Jawa, terutama oleh lidah komunitas penuturnya.

Ada perbedaan perlakuan ejaan huruf q dan f dalam sistem ejaan BJ. Selain banyak kosakata BI yang mengandung huruf f dan banyak nama yang mengandung huruf f (seperti Effendi, Syaefudin, Saiful, Fanni, Febi, Febrianti, Fahmi, Fitri, Hannif, Khofiffah, Fajar, dsb), kosakata yang mengandung huruf f sering disimak dan diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya alasan BI dalam pembahasan ini karena BI menjadi bahasa pengantar di sekolah. Sehingga, bisa ditafsirkan fenomena pengucapan f sangat mungkin dapat diserap dalam sistem ejaan BJ.

BJ termasuk bahasa yang dinamis. Setiap ada kosakata asing yang dirasa lebih praktis, perlahan-lahan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kosakata serapan itu disesuaikan dengan lidah komunitas BJ, seperti kata gobak sodhor (go back to the door), magrib/mahrib (maghrib), aplot (upload), kensel (cancel), dsb. Kata-kata serapan tersebut dimasukkan dalam klaster netral menurut klaster kosakata atau undha-usuking tembung (UUT).

Oleh karena itu, aplikasi pengajaran BJ perlu dirancang sejalan dengan perkembangan BJ di masyarakat. Di samping itu, juga perlu mempertimbangkan adanya kendala seperti siswa dari luar Jawa, jam terbatas, konsentrasi siswa ke UN, animo komunitas penutur BJ seperti keluarga yang disinggung di muka, minimnya pustaka, kurangnya suri tauladan, dsb. Sementara materi BJ banyak. Mulai aksara, kosakata, tatabahasa, kagunan basa, UUB, kasusastraan, hingga kesenian dan tatakrama. Tuntutannya keterampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan apresiasi (disisipkan di 4 ketrampilan). Meluruskan pengucapan dhadhi menjadi dadi, tukul menjadi thukul atau penulisan loro dan lara, sing dan seng saja butuh waktu. Lalu, bagaimana mengajar bahasa ibu (BJ) yang efektif? Bagaimana desain pengajaran BJ secara pragmatis?

”Roh” Bahasa Jawa

Ada tiga pilar utama dalam BJ. Pertama, perasaan saling hormat menghormati, ewuh pakewuh, atau etika yang diimplementasikan melalui UUB. UUB ialah tata aturan bahasa menurut kedudukan kesopanan (Poerwadarminta, 1939). Kadang disebut basa. Basa itu berbicara dilandasi tatakrama atau rasa hormat menghormati antara penutur dengan lawan bicara.

Kedua, ragam UUB. Menurut Sutjipto Adi (1987), ragam UUB ada Ngoko, Madya, Krama, Basa Kedhaton (Bagongan), dan Basa Kasar. UUB Ngoko ada dua, yaitu Ngoko Lugu (NL) dan Ngoko Andhap/Alus (NA). UUB NA dibagi menjadi Antya Basa (AB) dan Basa Antya (BA). UUB Madya ada Madya Ngoko (MNg), Madyantara (Mdy), dan Madyakrama (MKr). UUB Krama dibagi menjadi Kramantara/Krama Lugu (KL), Mudha Krama (MKr), Wredha Krama (WKr), Krama Alus/Inggil (KA/KI), dan Krama Desa (KD). Dalam perkembangannya, UUB masih eksis digunakan oleh komunitas BJ. Sebagai pengenalan yang tepat untuk siswa adalah Ngoko (NL dan NA) dan Krama (KL dan KI).

Ketiga, irregular words BJ berupa UUT (undha-usuking tembung). UUT ialah kata satu arti tapi memiliki tataran tatakrama yang berbeda. Menurut Hidayat (Ensiklopedi Bahasa Dunia, 2006), UUT merupakan kata-kata honorifik untuk merendahkan diri dan meninggikan lawan bicara. UUT BJ terbagi dalam UUT Ng (Ngoko), UUT Kr (Krama), dan UUT KA (Krama Alus). Untuk membedakan “krama alus” sebagai UUB dan UUT, digunakan singkatan KI untuk UUB dan KA untuk UUT.

Secara UUB, kalimat ”Sudah tidur?” berbeda konteksnya. Dalam NL kalimatnya “Wis turu?” (UUB NL itu bahasa yang memakai UUT Ng, netral, akrab, dan tidak membedakan status atau umur). Dalam UUB NA menjadi “Wis sare?” (UUB NA ialah bahasa netral yang memakai UUT Ng diselingi UUT KA untuk orang yang dihormati). Dalam UUB KL kalimatnya “Sampun tilem?” (UUB KL itu bahasa yang memakai UUT Kr, sifatnya menghormat secara umum). Sedang dalam UUB KI menjadi “Sampun sare?” (UUB KI ialah bahasa yang memakai UUT Kr dan atau UUT KA untuk orang yang dihormati, sifatnya menghormat secara khusus).

Ajar Basa

Agar siswa 'bisa basa', perlu belajar basa secara intensif dan berkelanjutan. Pertama, menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Konteks berbicara siswa diarahkan berdasarkan pocap lan patrap 'pengucapan dan kesopanan', sebuah norma pergaulan agar terjalin keakraban dan hormat-menghormati. Jika sudah mempunyai rasa pangrasa hormat, konteks hormat akan muncul sendiri. Orang akan memilih siswa yang sopan walau belum bisa basa daripada yang bisa basa tapi tidak sopan. Yang terbaik siswa bisa basa dan sopan (pocap lan patrap).

Kedua, hafal UUT. Karena UUT BJ banyak dan merupakan salah satu dasar untuk bisa basa, alangkah baiknya jika hafalan UUT dimulai sejak dini. Bila siswa hapal kata kesah (UUT Kr), idealnya juga hapal tindak (UUT KA). Minimal siswa diajak menghafal kosakata sehari-hari. Guru dapat memberikan beberapa metode dalam penguatan hafalan siswa, seperti tebak kata, permainan deret kata, TTS, kata bergulir, silang kata, kata berantai, dsb. Jika siswa tidak hafal UUT, siswa akan sulit bisa basa.

Ketiga, berlatih menerapkan satu kosakata UUT dalam satu konteks UUB. Contoh kalimat ”Aku makan, Ibu belum makan” dalam UUB NL: ”Aku mangan, Ibu durung mangan”. Dalam UUB NA: ”Aku mangan, Ibu durung dhahar”. Kalimat dalam UUB KL menjadi ”Kula nedha, Ibu dereng nedha”. Sedangkan dalam UUB KA menjadi ”Kula nedha, Ibu dereng dhahar.”. Penutur 'aku' tidak memakai 'dhahar' (UUT KA), karena tidak boleh meng-kramaalus-kan diri sendiri. Kalimat contoh yang tepat dipakai ialah kalimat UUB NA dan UUB KA, sebab ada unsur yang dihormati secara khusus (ibu).

Keempat, menyesuaikan dengan lawan bicara. Kontekstual BJ perlu memperhatikan lawan bicara. Jika dengan orang yang baru kenal, cenderung memakai UUB KA. Hal ini muncul karena rasa sungkan. Apabila sudah kenal, akan berubah menyesuaikan status atau umur antara penutur dan lawan bicara.

Jika berbicara dilandasi rasa hormat, hafal UUT, dan paham UUB, maka tidak sulit untuk bisa basa. Tetapi masyarakat, terutama kaum ibu, bertindak selaku lawan bicara siswa di rumah, perlu ikut membiasakan siswa berbahasa Jawa sesuai UUB. Mungkin anak basa di rumah, di luar belum tentu, karena tergantung lawan bicara dan lingkungan. ”... the world a man inhabits is a linguistic construct” (Sampson, 1980). Komunitas lingkungan, seperti guru BJ dan selain guru BJ, TU, mister bon (tukang kebun), mas/mbak pedagang, bapak sopir, dsb juga memiliki peran yang sama.

Keluarga semestinya mempelopori sebagai pembelajaran pertama bahasa ibu, lewat percakapan sehari-hari di rumah. Guru BJ hanya membantu tugas dan peran keluarga untuk memberi pengalaman berbahasa ibu pada anak. Sebab, ”Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik.” (Sulastin, 1979) dan ”Pendidikan yang maju atau modern bukan berarti meninggalkan bahasa ibu” (Kompas, 26/2/2009).

Karena itu, pembelajaran BJ perlu menerapkan kembali Taxonomy Cognitif-nya Bloomsky secara runtut dari C1 (menghafal) sampai C6 (evaluasi), dari kecil hingga dewasa. Idealnya dibentuk MGMP BJ Lintas Jenjang, dari PAUD hingga SMA, dengan dipandegani oleh Perguruan Tinggi yang mumpuni dalam BJ. Semoga Bahasa Jawa siap mengisi International Mother Tongue Day dengan lebih baik. Semoga Salatiga siap mendukung Save the Children Programme.

*)Penulis adalah Pengampu

Bahasa Jawa SMA 1 Salatiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
template : HB  |    by : boedy's