Artikel Majalah Hati Beriman

Selasa, 11 Oktober 2011

POLITIK BUNGLON

Menyambut pemilukada /Walikota Salatiga 2011.

POLITIK BUNGLON

(“Bungklonisasi” politik)

Oleh: Dr. Ir. Sri Suwartiningsih. M.Si*)

Untuk menjadi jujur kita harus berbuat lebih daripada bicara tentang kebenaran,

Kita juga harus mendengarkan kebenaran,

Kita juga harus menerima kebenaran.

Kita juga harus bertindak Atas dasar kebenaran!

Jika juga harus mencari kebenaran,

Kebenaran yang sukar dalam diri kita dan sekitar kita,

Kita juga harus mengarahkan diri kepada kebenaran.

Kalau tidak, kita menjadi tidak jujur dan hidup kita salah jalan.

Tuhan, berilah kami kekuatan dan keberanian untuk jujur.

Amin!

Menurut Budiardjo, Meriam, 1998. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. MC Closky, menyebut partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasan, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Kemudian Nie dan Verba, mengemukakan partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka .

Huntington dan Nelson (1994) mendefinsikan partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara pribadi (private zitezen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Roth dan Wilson (1980), membagi jenis partisipiasi berdasarkan frekuensi dan intensitasnya. Menurutnya orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya yang tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, jumlah orangnya banyak. Sebaliknya, sedikit sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik.

Bagaimana dengan para aktivis dan partisipan di Salatiga? Apakah mereka merupakan aktivis dan partisipan yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat? Aktivis dan partisipan politik merupakan sosok politikus yang membutuhkan pengetahuan dan pengalaman berbangsa dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak politik dibicarakan, ketrampilan berpolitik dari para politisi sangat diperlukan. Sebagai contoh Winston Churchill diingat baik dari pidatonya tentang artikulasi “raungan singa” (the lions's roar) pada saat Perang Dunia II maupun karena rangkaian ucapannya yang jenaka, sebagian besar sangat lucu, seperti deskripsinya tentang Clement Attlee sebagai “domba berbulu domba” (a sheep in sheep's clothing). Lincoln adalah politisi sukses yang tampil dengan kebijaksanaannya, meskipun sukar mengimajinasikan ketrampilan politiknya tanpa pesona kapasitasnya dalam kefasihan berpidato (Minogue, Kenneth 2006 : 95).

Menjelang Pemilukada (walikota) 2011 kemunculan aktivis dan partisipan politik tidak dapat dihindari. Puluhan orang mengaku dan mendeklarasikan dirinya sebagai aktivis dan partisipan di depan mata rakyat. Para aktivis dan partisipan ini muncul dalam wadah Partai Politik. Partai politik merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi politiknya dari para aktivis dan partisipan. Oleh sebab itu sebuah Partai harus memiliki visi dan misi. Di Inggris misalnya, Partai Buruh bangkit di bawah sayap liberalisme dan bahkan menggantikan Partai Liberal sebagai partai yang menyatakan dirinya reformis. Partai Demokrat di Amerika Serikat telah mengadaptasi banyak kebijakan “sosialis” dari Eropa, dan “liberal” sebagai istilah politik Amerika. Partai-partai tersebut di dalam perjuangannya untuk memimpin negara mempunyai arah dan tujuan yang jelas, sehingga dapat menggalang masa untuk aktif dan terlibat didalammnya.

Bagaimana dengan Partai di Salatiga? Sampai saat ini partai-partai yang berdiri di Indonesia belum menampakkan perbedaan visi dan misi yang mendasar sehingga rakyat yang merupakan massa potensial tidak mampu membedakan satu partai dengan partai yang lain. Memang masing-masing partai sudah mempunyai identitas seperti identitas agama, kebangsaan, kaum miskin/buruh, persatuan, dll. Tetapi apakah partai-partai itu benar-benar dapat mempengaruhi dinamika berbangsa dan bernegara yang benar-benar membela rakyat yang sudah memilihnya. Seperti yang terjadi di Amerika, Inggris, dan beberapa negara tetangga. Tidakkah setelah menang Partai dan semua partisipan Partai seperti hilang ditelan bumi kemenangan dan akan muncul lagi pada saat menjelang pemilu dan pemilukada berikutnya?.

Saat ini di kota tercinta kita ini, tidak dapat dihindari dari pandangan mata, setiap kita keluar rumah disepanjang perjalanan, taman, dan trotoar terpasang baliho, bendera, spanduk wajah-wajah calon Walikota. Begitu banyak jumlahnya. Berjejer tidak teratur dan kota negeri kita tercinta ini terkesan kumuh. Bahkan terkadang mengundang bahaya. Bagaimana tidak? Karena beberapa spanduk sobek dan menutupi jalan, tiang bendera dari bambu yang patah bisa melukai orang yang melewati. Wah mau jadi apa lingkungan Salatiga ini. Kalau ditimbang sudah berapa ton sampah anorganik memenuhi kota ini?

Dibalik media pengenalan yang ternyata menambah beban sampah di lingkungan kota ini, kita dikagetkan dengan wajah-wajah yang sama tetapi dengan partai berbeda. Wajah-wajah calon walikota menebar senyum di partai yang berbeda bahkan partaipun mengusung calon walikota yang pada awalnya bukan dari kadernya. Bahkan ada pasangan calon yang sudah berganti pasangan sebelum masuk ke pelaminan. Ada apa ini? Orang berganti-ganti partai. Partai berganti-ganti orang. Lebih parah lagi, para pemilihpun tertular menjadi pemilih yang plin-plan. Politik apa ini? “POLITIK BUNGLON”.

Bunglon adalah binatang melata yang dapat menyesuaikan kulit tubuhnya sesuai dengan tempat yang diinjak untuk membuat dirinya tidak terlihat oleh musuh. Kulit bunglon langsung berubah warna menjadi coklat pada saat kakinya menginjak batang kayu yang berwarna coklat, tidak lama dia melompat dan mencengkeram daun tebal berwarna hijau maka seketika itu pula kulitnya berwarna hijau. Bunglon sulit dikenali musuhnya karena warna kulitnya hampir mirip dengan benda yang diinjak. Sehingga bunglon merasa aman di tempat itu.

Bagaimana dengan dinamika politik kita di Salatiga? Padahal hampir setiap tahun bangsa ini punya gawe (mulai dari pemilihan langsung walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati, gubernur/.wakil gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden/wakil presiden). Jumlah dan frekuensi pemilihan pemimpin dan wakil rakyat membuat kesibukan bangsa ini tidak pernah berhenti. Kesibukan mulai dari pembentukan partai, pencalonan kader, pencalonan bupati/ walikota/gubernur, wakil rakyat, dll. Kesibukan bukan hanya pada aras panitia yang ditunjuk tetapi juga pada orang-orang yang ditunjuk atau ingin menjadi calon dalam pemilih langsung nanti.

Dengan frekuensi pemilu yang begitu tinggi membuat praktek politik bunglon menjamur. Para pemirsa televisi dikejutkan oleh tokoh politik yang sudah sangat terkenal dalam satu partai tertentu pada pemilu sebelumnya namun pada saat ini muncul dalam partai yang lain. Kasus Salatiga saat ini, para calon pemilih dibingungkan dengan para calon walikota yang bernaung dalam partai tertentu pada pemilu-pemilu sebelumnya sekarang memperkenalkan diri dengan partai yang lain. Sungguh tidak dimengerti oleh para pemilih apa yang menjadi visi dan misi dari para aktivis dan politikus.

Mereka (calon walikota) pasti mempunyai tujuan untuk menang di dalam pemilukada nanti. Janji-janji kampanye yang terdengar impresif di dalam retorika pemilukada dapat berbalik menjadi undangan untuk bencana atau kemalangan ketika sudah menjadi walikota baru mengungkapkan implikasi kebijakan mereka. Politik demokratis adalah suatu permainan (game) di mana tim-tim bersaing untuk menang. Resiko harus diambil, ada yang menang ada yang kalah, kandidat-kandidat yang didukung kalah bertanding dari lawan-lawannya yang tidak dianggap serius sebelumnya, dan semua ini merupakan suatu pertunjukan besar yang menginspirasikan dan memeriahkan para pendukung. Demikian Minogue mengungkapkan dalam bukunya sekilas tentang Politik. Dalam permainan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Yang perlu ditindaklanjuti dengan cara bagaimana kemenangan diperoleh? Dan bagaimana sikap yang kalah terhadap yang menang?

Tidak dapat dipungkiri, jika Bapak Presiden kita mulai kuatir akan keberhasilan Pemilu di negeri ini. Oleh sebab itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat melakukan pilkada di Bogor menghimbau agar semua warga negara mau menggunakan hak pilihnya pada pemilu-pemilu yang berlangsung, karena fakta sudah menunjukkan tingginya golput yang hampir 30 % (liputan siang, SCTV, 30 Nop 2008). Himbauan boleh-boleh saja, namun yang menjadi pertanyaan mengapa golput cenderung meningkat? Pertanyaan inilah yang harusnya dicari jawabannya. Kalau warga sudah bingung dengan para calon wakil rakyat dan pemimpinnya yang sudah seperti bunglon, apakah rakyat menjadi sejahtera untuk memilih mereka?

Dengan demikian agar golput tidak meningkat maka para bunglon perlu di basmi. Rakyat tidak butuh janji-janji kosong, yang dibutuhkan adalah tindakan nyata tanpa kemunafikan tetapi kejujuran dan ketulusikhlasan. Bukan hanya kata-kata di baliho, spanduk dan saat kampanye. Rakyat yang bersifat bunglonpun harus dibasmi, karena negara ini butuh rakyat yang bertanggung jawab. Bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur dan bertanggungjawab, serta memegang kebenaran. Tulisan ini akan penulis tutup dengan Syahadat Pejuang Kebenaran.

*)Penulis adalah pengajar

Fiskom Universitas Kristen Satyawacana

UKSW Salatiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
template : HB  |    by : boedy's